Distro Academy : School of Clothing

Masa Depan Industri Garment di Indonesia
















Siapa yang tidak mengenal Bandung, sebagai salah satu kota paling kreatif di Indonesia. Hampir semua produk kreatif negeri ini tercipta dari kota yang berjejuluk kota kembang ini. Sebut saja mulai produsen artis papan atas Indonesia, penghasil produk fashion terdepan dan tentunya pesohor industry kuliner nusantara.

Sebagai kota produsen artis, tentu tak ada yang dapat memungkiri bahwa Bandung adalah kota paling produktif menghasilkan musisi, artis sinetron sampai artist teater. Ada banyak sanggar tari dan seni yang dibina dari usia dini, sehingga Bandung dapurnya tak pernah berhenti mengebul menyumbangkan artis papan atas. Menjadi artis dalam arti yang luas sudah menjadi cita-cita warga Bandung sejak dini.

Dari sisi penghasil produk fashion garis depan, Bandung tak dapat dipungkiri merupakan pionir dari industri yang paling bergairah ini. Sebut saja Majalaya, sebagai salah satu daerah di Bandung bagian selatan. Sejak tahun 1920 telah menjadi sentra industri tenun kenamaan. Hasil pengrajin Majalaya berupa sarung, kain bodasan dan produk tenun lainnya telah melegenda dan bahkan menembus pasar ekpsor. Atau sebut saja Cibaduyut sebagai sentra industri alas kaki. Sejak tahun 1920 telah mulai tumbuh subur pengrajin sepatu di kawasan Cibaduyut yang hingga saat ini masih terus bertahan.

Kemudian dari sisi kuliner. Tidak ada kota paling produktif menghasilkan produk kuliner dinegeri ini di bandingkan kota Bandung. Ada banyak makanan kreatif lahir, mulai dari inovasi rasa maupun inovasi penyajian. Sebut saja makanan macam batagor, basreng, cireng, cimol, surabi, bolen, bastus, cimin dan aneka jajanan pasar lainnya. Bahkan para pebisnis kuliner menyebutkan, usaha kuliner yang sukses diluar Bandung belum tentu bisa jalan dioperasikan di Bandung, namun makakan yang telah sukses di Bandung menjadi jaminan untuk sukses di kota luar Bandung. Ini menunjukkan bahwa Bandung adalah barometer kuliner nasional.

Saya tidak ingin mengupas Bandung dari sebagai kota kreatif saat ini, namun akan melihat fenomena bisnis kreatif yang kian kompetitif dengan mengambil barometer Bandung sebagai acuan. Kenapa demikian, karena revolusi internet telah mengubah lingkungan bisnis kreatif yang selama ini stabil menjadi sangat labil. Sebagai bukti, bahwa banyak sekali usaha yang dulu Berjaya, secara senyap dan bertahap mengalami kemunduran secara perlahan.

Sebagai contoh, ada banyak pengusaha Majalaya dan Cicalengka yang sejak era 1980 berjaya, kini bertahap gulung tikar. Demikian juga pengusaha alas kaki kenamaan yang sudah bertahan bertahun-tahun, berlahan juga mengurangi produksi bahkan ada yang menghentikan produksi. Demikian juga dengan produsen kaos, hal serupa juga terjadi.

Kalau dilihat dari sisi kebutuhan konsumen, maka bisa dikatakan stabil dan mungkin ada koreksi daya beli, namun kalau dilihat dari susutnya volume produksi, maka bisa dipastikan ada produk pengganti yang dahulu menggunakan produk lokal yang berpindah ke produk impor. Hal ini bisa ditelusuri, bagaimana rasio produk yang beredar dipasar konvensional, semisal pasar Tanah Abang, Mangga Dua dan Jatinegara. Secara kasat mata, komposisi produk lokal makin terdesak produk impor. Kondisi ini membuat pasar dan podusen lokal tertekan.

Sebenarnya mensikapi perubahan ini, produsen lokal tak tinggal diam, mereka melakukan inovasi produk bahkan sampai harga. Namun, beberapa mengeluhkan hasil produksinya tak mampu menyaingi harga produksi impor. Jika ditelisik lebih jauh, mengapa harga produk lokal kurang bersaing, khususnya produk garment. Maka 3 hal ini bisa menjawab : factor bahan baku, factor mesin produksi dan tenaga kerja.

Dari sisi bahan baku, tidak ada yang mampu menyaingi murahnya bahan garment China, karena memang China sebagai salah satu penghasil dan eksportir kapas dunia. Hampir semua bahan baku sandang adalah dari kapas. Sedangkan Indonesia lebih dari 90% impor bahan kapas. Inilah salah satunya mengapa produk garmen China bisa berproduksi lebih murah.
Berikutnya dari factor mesin produksi. Sampai hari ini, Indonesia bisa dikatakan belum bisa membuat mesin produksi tekstil dan garment. Hampir semua mesin diimpor dari China, Jepang dan Korea. Tentu dengan menggunakan mesin impor, secara tidak langsung akan berpengaruh pada ongkos produksi yang lebih tinggi.

Faktor terakhir adalah factor tenaga kerja. China ada begitu banyak jumlah penduduk. Disatu sisi dukungan pemerintah memberikan fasilitas bagi industry untuk berkembang dengan memberikan berbagai subsidi untuk menciptakan lapangan kerja. Bisa dikatakan, hampir bisa dikatakan tidak ada demo buruh pabrik di China, karena semua dikontrol oleh otoritas pemerintah. Kondisi ini menciptakan stabilitas yang berujung pada ongkos murah tenaga kerja.

Melihat hal diatas, maka pilihan bersaing dengan produk China dengan persaingan harga murah bukanlah solusi yang tepat. Ada banyak pengusaha lokal yang berjuang dengan harga murah berujung pada gulung tikar, karena memang secara struktur harga produsen lokal tidak akan mampu. Jika selama ini kodisi pasar terkesan aman, maka sebabnya karena memang kran impor tidak dibuka lebar-lebar seperti sekarang ini. Konsekuensi dari perdangan bebas China-ASEAN akhirnya memang berdampak serius pada melemahnya industry lokal.

Dampak dari menurunnya sector produksi tekstil dan garmen ini adalah banyak tutupnya pabrik yang telah beroperasi puluhan tahun. Selain itu, UKM sejenis yang selama ini imun terhadap perubahan lingkungan bisnis juga banyak yang menutup usahanya.

Nah, bagaimana mensulusi permasalahan ini agar bisnis kreatif ini mampu terus bertahan. Berikut ini beberapa langkah yang bisa dilakukan.

11. Lebih mengedepankan kreatifitas daripada harga murah. Solusi ini mutlak diperlukan, karena selama tidak ada proteksi impor, maka bersaing dengan harga murah adalah kesia-siaan. Industri lokal tidak akan mampu bertahan terhadap serangan harga murah karena factor bahan, mesin dan tenaga kerja.

22.  Lebih mengedepankan kualitas daripada kuantitas. Maksudnya adalah, produk dalam negeri harus bisa menjamin kualitas lebih baik dari produk impor. Kualitas disini bisa dari sisi desain, bahan dan jahit. Jika telah memutuskan untuk tidak bersaing diharga murah, maka kompensasi yang harus diberikan adalah kemampuan untuk memberikan kualitas lebih baik. Hal ini agar produk lokal tidak terjebab pada komoditas yang akhirnya bersaing berhadapan dengan produk impor.

33. Lebih mengedepankan brand daripada komoditas. Produsen lokal harus mulai sadar bahwa mengelola brand adalah bagian penting dalam mempertahankan dan mengembangkan bisnis. Pelaku usaha harus berani lepas dari bayang-bayang produk imitasi dan memberanikan diri tampil beda dengan pasar. Selama kita mengekor produk dari luar, maka selama itu pula masuk jebakan komoditas yang berdarah-darah.

Tiga hal diatas setidaknya menjadi kunci utama untuk bersaing dengan derasnya produk impor. Dengan revolusi digital pelaku usaha garus mampu memanfaatkan dengan sabaik-baiknya. Revolusi digital memang berdampak memnggoyang kemapanan bisnis konvensional, disatu sisi membuka peluang-peluang baru yang jauh lebih besar bagi siapapun yang dapat memanfatkan momentum tersebut. Revolusi digital menawarkan pola baru bahwa untuk memenangkan kompetisi tak lagi bertumpu pada kekuatan modal, akan tetapi kreatifitas menjadi bahan bakar utamanya. Demikian juga masa depan industry kreatif, khususnya fashion. Masa depan ada ditangan siapapun yang kreatif memanfaatkan peluang. @amirfauzi